Sudah Begitu Parahkah Peradilan di Negeri Ini?

Hingga 3 bulan terakhir sudah 4 kasus yang terungkap, salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan empat tersangka terkait dengan kasus dugaan suap terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pemimpin KPK, Basaria Panjaitan, mengatakan mereka adalah kuasa hukum Saipul Jamil, BN dan K; kakak Saipul Jamil berinisial SH; serta seorang panitera PN Jakarta Utara berinisial R.

Kendala utama parahnya peradilan negeri ini ada di bagian struktur itu sendiri, Mahkamah Agung menjadi lembaga yang memiliki power, dimana hakim-hakimnya fokus memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Sedangkan menejemen ada di lembaga lain yaitu departemen kehakiman, hingga akhirnya dibuatlah sistem satu atap, yang memungkinkan terjadinya sharing of responbility oleh mahkamah agung, namun kemandirian hakim tetap terjaga. Sebenarnya (power – accountability) adalah rumus terciptanya sebuah korupsi, inilah yang melatarbelakangi beberapa celah kasus korupsi di peradilan itu sendiri.

Angka pengawasan di Mahkamah Agung, oleh Badan Pengawas MA, dimana satu unit badan pengawas dengan 40 personel, ini harus mengawasi 7.500 hakim, 8.000 panitera dan juru sita, 32.000 pegawai, dan lebih dari 480 pengadilan di seluruh Indonesia, meskipun untuk daerah harus di assigntmen ke Pengadilan Tinggi, tetapi pengawasan internal dengan load yang sebesar ini bisa dibayangkan seperti apa, yang kedua pengawasan internal itu punya nature membela sesamanya, itu terjadi dimana-mana bukan hanya di Makhamah Agung. jadi harus dibenahi secara terbuka, walaupun banyak upaya oleh civil society atau LSM yang melakukan reformasi dalam menangani perkara, seperti ada sistem kamar untuk spesialisasi kewenangan yang berhasil didorong dan difasilitasi, akses publik terhadap jutaan putusan yang dulu tidak ada sekarang dengan gampang di dapat.

Kenapa masih terjadi? berarti harus ada upaya sungguh-sungguh dan terbuka terkait reformasi menjaga integritas peradilan . Fenomena yang tumbuh subur, pertama masalahnya sudah lama, dimana penyakitnya bukan yang baru terjadi sehingga upaya instan tidak akan bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalah ini. Berbagai kejadian membuktikan bahwa pembaharuan belum menyentuh area critical yang akan menyerang atau membatasi mafia peradilan saat ini.

Mahkamah Agung perlu berefleksi, apakah pembaharuan yang dilakukan sudah total, apakah masih banyak kompromi dalam pengambilan kebijakan pembaharuan internal, contohnya MA sudah membuat sitem informasi perkara dari pengadilan pertama hingga Mahkamah Agung dengan jutaan putusan dipublish di website MA. Tapi di area sangat rentan seperti penetapan majelis hakim, panitera pengganti di pengadilan, justru belum bisa dilakukan secara otomatis sehingga masih sangat terbuka pengaturan-pengaturan yang ingin beritikad buruk terjadi dilakukan karena celah ini, ada indikasi terjadinya kompromi ketika mengambil kebijakan. Yang kedua, MA perlu lebih membuka diri kepada lembaga negara lain yg punya kewenangan terkait, seperti KY, KPK, PPATK. MA kepada masyarakat sipil sudah terbuka, akan tetapi langkahnya bersinergi dengan lembaga negara lain yang punya kewenangan terkait bisa membantu memberantas mafia peradilan belum diambil, contohnya kenapa MA belum punya MoU dengan KPK, harusnya kan bisa mengindentifikasi jabatan strategis yang rentan terjadinya mafia peradilan dengan memperketat, meprioritaskan verifikasi sehingga yang menduduki jabatan menjadi kompeten dan berintegritas bagus. PPATK sudah punya MoU untuk seleksi calon hakim agung,tapi kenapa MA belum. Belum ada kerjasama antara MA dan KY, perlu ada cooling down, untuk melihat kepentingan yang lebih besar dan fokus melakukan hal yang bisa dilakukan bersama. Contohnya, MA dan KY tahun 2012 punya peraturan bersama soal penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim, namun hingga saat ini belum ada tindakan ataupun kegiatan bersama terkait peraturan tersebut, mungkin masalahnya adalah koordinasi dan komunikasi. Padahal bisa saja kontribusi yang dilakukan KY dan MA dengan pemilihan ketua dan wakil ketua pengadilan tinggi untuk saling bekerjasama. Yang ketiga, MA perlu konsisten menerapkan good governance. Penempatan pimpinan-pimpinan pengadilan yang high profil harus ketat, promosi mutasi MA katanya terbuka dan transparan, akan tetapi baru diujungnya. Hasilnya itu dipublish oleh MA di website. Hakim-hakim di daerah bisa melihat hasilnya, tapi bagaimana proses sebelum keputusan itu diambil misalnya nama-nama hakim yang akan dibahas oleh pimpinan MA untuk ditempatkan dimana itu belum jelas, dengan kriteria yang dipakai. Upaya kongkrit KY, dimana kewenangannya terbatas, sebenarnya kewenangannya tidak terbatas menurut pasal di dalam UUD 1945, karena kewenangannya selain merekrut calon hakim, kewenangan lain adalah menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Pasal kedua dipersempit yakni mengawasi hakim yang mana hanya perilaku yang mana adalah perilaku murni seperti selingkuh narkoba dll. Kita tidak bisa membayangkan ada sebuah lembaga yang dibentuk oleh UUD tetapi kewenangannya hanya diarahkan sekecil itu. Sementara ternyata banyak sekali masalah di MA terkait dengan pengawasan. KY bisa lebih mendayagunakan kewenangan yang ada asal diinterpretasikan secara proporsional. Ketika ada load yang besar di bawah dan kewenangan KY hanya sebatas mengawasi hakim, ini menjadi serba mentok. Penelusuran rekam jejak calon hakim agung oleh KY untuk seleksi kualitas. “The Man behind the Gun”, orang-orang besih yang  terjamin. Sehingga banyak calon yang pintar namun trade recordnya buruk, tidak lolos tahap ketiga wawancara. Hal terakhir yang bisa menjadi upaya memutuskan masalah ini adalah tindakan tegas dan sanksi yang berat terhdap para pelaku. Pemberian rapor merah dalam trade record sebagai bentuk konsekuensi perbuatan yang dilakukan. Semoga lembaga peradilan bisa merefleksikan diri serta mengevaluasi, dan memperbaiki intergitas kebijakan bersama dalam hal menegakkan hukum di negara ini.