Mengkaji Wacana Full Day School

Wacana mengenai full day school, seringkali memandang pendidikan Indonesia dari satu sudut kacamata Jakarta, kacamata orang sibuk tidak pernah melihat pendidikan dalam wilayah yang sangat luas yang harus diinternalisasi dan aktualisasikan lingkungannya, sehingga pendidikan harus melahirkan manusia yang memberikan daya dukung terhadap pertumbuhan dan kualitas lingkungan bukan sebaliknya pendidikan merusak lingkungan. Jika sudut pandang full day school dari sisi orang tuanya sibuk dan selalu pulang malam bisa jadi efektif tapi dengan catatan kelengkapan sekolahnya cukup, ruang olahraga baik, ruang kesenian cukup, ruang perpustakaannya memadai, dan kemudian dipahaminya jangan seharian anak dijejali buku buat suatu ruang untuk membangun kreativitas misalnya dengan bermusik, paskibra, pramuka, pmr, yang membuat betah di sekolah.

Kondisi lapangan sama sekali tidak mendukung proses full day school, misalnya 75% sekolah kita itu tidak memenuhi standar layanan minimal, ada riset plan tahun kemarin mengatakan bahwa 84% anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Jika kondisi masih seperti itu, anak-anak mengalami kekerasan di sekolah diperpanjang ya memperpanjang peluang kekerasan.

Alasan mengenai wacana Full Day School menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang pertama adalah asumsi bahwa anak-anak itu lembek sehingga perlu pendidikan keras. Yang kedua adalah asumsi bahwa anak-anak kalau tidak di sekolah menjadi liar, sehingga daripada liar lebih baik di sekolah. Argumentasi bahwa ide sekolah seharian itu adalah dunia itu jahat dan penuh bahaya dengan pengaruh buruk, sehingga menjauhkan anak dari semua itu dengan sekolah seharian dianggap efektif. Pertanyaannya adalah pengambil kebijakan terhadap anak akan berpengaruh terhadap kebijakannya dan akan berpengaruh kepada dampaknya.

Artinya apresiasi dan pemberian rasa percaya perlu diberikan terhadap anak-anak kita. Ada depresi dalam pendidikan kita ketika dalam kelas pembelajaran diumumkan pelajaran bebas atau ulangan diundur. Kenapa depresi? karena pendidikannya menjenuhkan. kenapa menjenuhkan? karena doktrin, tidak membuat ruang kreative, sehingga persoalan pendidikan Indonesia yang menentukan itu bukan menteri, tapi seharusnya adalah guru. Serahkan pendidikan pada guru, cerdaskan gurunya. yang nantinya guru akan mengambil kesimpulan berdasar individu anaknya, bukan digeneralisasi Indonesia. Dengan memberi kebebasan pada seluruh pelajar untuk memilih bidangnya sesuai minat dan bakat, sehingga bisa fokus mendalami apa yang mereka pelajari nantinya. Bahkan anak yang nakal pun sebenarnya lebih kreative sehingga bisa cocok untuk menjadi wartawan pencari berita.

Ketika ada diskusi sharing terhadap forum guru mengenai FDS, rata-rata mengeluhkan ini adalah sebagai beban. Dan ketika ini menjadi beban terhadap guru, ini juga menjadi beban untuk anak-anak kemudian tertekan dan tidak menutup kemungkinan akan tercipta “generasi stres masa depan”.

Sampai sekarang belum ada forum berbagi antar guru, secara formal ada yaitu dengan pelatihan-pelatihan yang isinya power point, doktrin-doktrin. Padahal secara riset menunjukan bahwa guru efektif belajar dari guru yang lain bukan dari ahli. FDS memang masih wacana namun perlu ditinjau kembali untuk bisa dijadikan masukan mengenai pernyataan-pernyataan penting. Idealnya, kebijakan itu disertai kajian mendalam yang terkait dengan kebutuhan dasar masyarakat yang beraneka ragam.

 

Bandung, 10 Agustus 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *